Laman

Jumat, 14 Desember 2012

Pendekatan Neo-Marxisme dalam Ilmu Politik

Karl Marx and Priedrich Engels


Kebanyakan kalangan Neo-Marxisme adalah cendikiawan yang berasal dari kalangan “borjuis” dan seperti cendikiawan dimana-mana, enggan menggabungkan diri dalam organisasi besar seperti partai politik atau terjun aktif dalam kegiatan politik praktis. Hanya ada satu atau dua kelompok militan, antara lain golongan Kiri Baru (New Left).

Para Neo-Marxis ini, di satu pihak  menolak komunisme dari Uni Soviet karena sifatnya yang refresif, tapi di pihak lain mereka juga tidak setuju dengan banyak aspek dari masyarakat kapitalis dimana mereka berada. Begitu juga mereka kecewa dengan kalangan Sosial-Demokrat. Meskipun kalangan Sosial-Demokrat berhasil melaksanakan konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) di beberapa Negara di Eropa Barat dan Utara dan meningkatkan keadilan sosial untuk warganya, tetapi mereka di anggap gagal menghapuskan kesenjangan sosial lainnya. Lagipula mereka juga dilihat gagal mempertahankan nilai-nilai demokrasi. Karena pentingnya peran kalangan Neo-Marxis ini, ada baiknya kita menelusuri asal usul mereka.

Pada awal dasawarsa 1960-an, di Eropa Barat telah timbul perhatian baru terhadap tulisan Marx. Mengapa justru pada waktu itu? Sebelumnya, suasana  di dunia Barat tidak menguntungkan bagi usaha mengkaji tulisan-tulisan Marx. Selama 30 tahun berkuasa Stallin (1924-1953), tafsiran Lennin mengenai tulisan Marx oleh Stallin di bakukan dan dinamakan Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Doktrin ini menjadi Dominan, karena berhasil mendirikan suatu tatanan sosial dan ekonomi baru di Uni Soviet.

Dominasi ini dilakukan dengan fakta oleh orang barat yang menamakan dirinya Marxis, sedangkan para Neo-Marxisme pada umumnya tidak mempermasalahkan apakah tafsiran Lenin dan Stallin merupakan satu-satunya tafsiran yang layak, ataukah mungkin ada interpretasi. Akan tetapi oleh mayoritas orang Brat komunisme di tolak, apalagi setelah stallin melancarkan teror terhadap lawan-lawannya di Uni Soviet pada akhir 1930-an.

Di Amerika serikat tidak lama setelah seusai Perang Dunia II, timbul perasaan anti-Komunis dan anti-Soviet yang kuat, yang kemudian terjelma menjadi apa yang dinamakan Perang Dingin. Di Amerika dengan diterimanya Internal Securty Act atau lebih terkenal dengan sebutan McCarren Act (1950) dan aksi-aksi yang dilontarkan oleh senator Joseph Mc Carthy, setiap pemikiran yang berbeda dengan apa yang berlaku umum di curigai dan dianggap Subversif (Mc Carthyism). Banyak pemuka dan cendikiawan di pecat dari kedudukannya, dikucilkan dari masyarakat, atau dipenjarakan.

Tetapi pada tahun 1960-an Eropa barat dan Amerika mulai dilanda berbagai Konflik Sosial, Ekonomi dan Rasial sehingga membangkitkan keresahan yang luas. Sebagai reaksi, banyak cendikiawan mencari jalan keluar. Di satu pihak mereka menolak Kapitalisme dengan kesenjangan-kesenjangan sosial dan ekonomi-ekonominya, tapi di pihak lain mereka juga menolak Komunisme dengan refresi dan konformitasnya. Dalam keadaan frustasi ini, mereka berpaling ketulisan-tulisan Marx, terutama karangan yang ditulis di masa mudanya, Fruhschriften,  yang baru ditemukan dan di terbitkan kira-kira tahun 1932.

Bagkitnya kembali  prehatian pada  tulisan-tulisan  Marx ini berbarengan dengan beberapa kejadian di berbagai belahan dunia. Pertama, perubahan yang mendasar didunia komunis internasional sesudah Stalin meninggal pada tahun 1953. Dalam Kongres Partai Komunis Uni Soviet ke-20 tahun 1956, untuk pertama kali di lontarkan kritik  terhadap Stalin oleh Nikita Khruschev (1894-1971). Kejadian ini berlanjut dengan dilancarkannya proses destalinisasi di Uni Soviet serta Negara-negara di Eropa Timur lainnya, yang berakibat timbulnya pergolakan diseluruh kubu Komunis.

Kedua,  munculnya China (Republik Rakyat China) sebagai penantang terhadap Dominasi Uni Soviet dalam dunia Komunis. Mao Zedong(1893-1975) menolak mentah-mentah gerakan destilinisasi yang sedang giat di laksanakan golongan Khruschev. Keretakan ini, yang terjadi pada awal tahun 1960-an, mendorong Mao Zedong untuk lebih mengembangkan ciri-ciri khas China dalam ideologi Komunisme dan menjauhkan diri dari apa yang olehnya Noe-Revisioninsma Khrushchev.

Ketiga, terjadi proses dekolonisasi dibelahan-belahan dunia yang selama ini di jajah. Negara-negara merdeka yang muncul selanjutnya di kenal dengan sebutan dunia ketiga.
Keempat, muncul gerakan sosial seperti gerakan perempuan , gerakan lingkungan, gerakan mahasiswa, dan gerakan anti-rasialisme.
Di Eropa Barat pergolakan ini paliang jelas manifestasinya di Prancis. Pada bulan Mei dan Juni 1968 ribuan mahasiswa dan hampir 10 juta pekerja (baik buruh maupun pegawai) mengadakan pemogokan umum yang di anggap paling besar dalam sejarah Prancis. Para pekerja, yang dalam masa Perang Dunia II tidak berkutik karena terdesak oleh golongan fasis yang sedang mengalami masa jayanya, dan karena polarisasi dalam Perang Dingin seusai Perang Dunia II, untuk pertama kali muncul di panggung politik. Pemogokan ini akhirnya berhasil ditumpas oleh Pemerintah Prancics dibawah Presiden  De Gaulle (1890-1970) dan kejadian ini mengisyaratkan kegagalan gerakan baru ini.
Akan tetapi kegagalan ini mendorong sejumlah aktivis untuk merenungkan kembali dasar pemikiran dari aktivitas mereka serta mencapai sebab-sebab kegagalannya. Banyak diantara aktivis ini  pada dekade 1960-an memperoleh kesempatan mengajar pada perguruan tinggi, dan memanfaatkan peluang ini untuk mempelajari serta mengembangkan pemikiran Marx dengan cara yang lebih canggih.
Di Amerika terjadi perkembangan yang lebih rumit dengan memuncaknya perang Vietnam pada awal 1960-an dan bersamaan dengan itu bangkitnya gerakan sosial seperti gerakan inti-Diskriminasi ras (terutama terhadap golongan kulti hitam, indian dan orang keturunan Moksiko), gerakan pembebasan perempuan (Women’s Lib), dan gerakan mahasiswa.
Masalah perang Vietnam menjadi sumber Utama kegelisahan, karena pemuda Amerika di wajibkan masuk dinas Militer. Mereka yang ditunjuk berdasarkan undian harus menjalani masa dinasnya di Vietnam, kecuali jika mereka meneruskan study di perguruan tinggi. Pergolakan terutama dirasakan di berbagai kampus, karena mahasiswa banyak mengadakan gebrakan  melalui tindakan menduduki kampus (sit-in), kadang-kadang dengan kekerasan. Gebrakan-gebrakan ini dipimpin oleh para aktivis mahasiswa yang sedikit banyak terorganisasi dan yang bernaung di bawah gerakan Kiri Baru (New Left), seperti SDS (Student for a Democratic Society), dan sebagainya.
Pada dasawarsa 1970-an, sesudah perang Vietnam berakhir pada tahun 1975 kampus menjadi tenang kembali, dan mulailah suatu periode dimana Marxisme menjadi bagian dari Kurikulum di perguruan tinggi. Perhatian tidak terbatas hanya pada kampus, melainkan juga tersebar diluar kampus, karena banyak cendikiawan kecewa dengan keadaan sosial, ekonomi, dan rasial di sekelilingnya.

Ada dua unsur dalam pemikiran Marx yang bagi mereka sangat menarik. Pertama, ramalannya tentang runtuhnya Kapitalisme yang tidak terelakkan. Kedua,  etika humanis yang meyakini bahwa manusia oada hakikatnya baik, dan dalam keadaan tertentu yang menguntungkan akan dapat membebaskan diri dari lembaga-lembaga yang menindas, menghina, dan menyesatkan.
Salah satu kelemahan yang melekat pada golongan Neo-Marxis adalah bahwa meereka mempelajari Marxdalam keadaan dunia yang sudah banyak berubah. Marx dan Engels meninggal pada tahun 1883 dan 1895. Kedua tokoh ini tidak mengalami bagaimana pemikiran mereka di jabarkan dan diberi tafsir khusus oleh Lenin. Tafsiran ini kemudian di bakukan oleh Stalin dan di beri nama Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Mereka juga tidak mengalami-dan juga tidak dapat menanggapi-timbulnya fasisme dan juga teror yang diselenggarakan oleh Stalin atas nama Komunisme. Selai itu karay Marx dan Engels sering di tuis dalam keadaan terdesak dan terpisah-pisah. Dengan demikian banyak masalah yang oleh golongan Neo-Marxis di anggap masalah pokok, hanya disinggung sepintas lalu atau tidak di singgung sama sekali.
Lagi pula pada tahun 1960-an dan 1970-an dunia sudah sangat berbeda dengan dunia pada abad ke-19 yang merupakan kerranagka acuan Marx dan Engels. Ramalan Marx ternyata banyak yang meleset Dunia Kapitalis yang diharapkan akan runtuh, ternyata menunjukan dinamika tersendiri. Banyak kelemahan Kapitalisme dapat di atasi sehingga eksistensinya tetap bertahan. Di pihak lain, Komunisme telah mengembangkan Unsur-unsur Totaliterisme dan Refresi, sesuatu yang juga di tolak oleh golongan Neo-Marxis.
Karena karangan-karangan Marx begitu fragmentaris, dan sering hanya merupakan bagian uraian-uraian dari bagian lain, maka tafsirannya juga bermacam-macam dan kadang-kadang bertentangan satu sasma lain. Para sarjana yang berorientasi pada pemikiran Marx menunjukan banyak variasi dalam pemikiran dan tidak merupakan kelompok yang homogen.  Tidak ada saut Marxisme yang diakui dan ditaati oleh semua golongan. Menurut Ralfh Miliband, seorang cendikiawan Neo-Marxis yang terkenal, tidak ada interfretasi yang otentik Oleh karena itu kalanga Neo-Marxis terpaksa harus menyusun teori baru dengan memakai naskah-naskah asli dari Marx (dan kadang-kadang dari Engels sebagai pelengkap) sebagai pangkal tolaknya.
Untuk pembahaasan dalam karangan ini, ada baiknya kita memakai definisi yang di ajukan dalam buku The Left Academy, yang diedit oleh dua sarjana Neo-Marxis Amerika, Bertell Olman dan Edward Vernoff. Menurut mereka: “ Sarajana Neo-Marxis adalah mereka yang meyakini pandangan Marx mengenai Kapitalis dan Sejarah, dan memakai metode analisisnya.” Mereka ingin membahas masalah sosial dari perspektif yang holistik dan dialektis, yang memberi tekanan utama pada kegitan negara dan konflik kelas.
Dalam rangka analisis holistik, mereka berpendapat bahwa keseluruhan gejala sosial merupakan satu kesatuan yang tidak boleh di bagi-bagi menjadi bagian –bagian yang tersendiri, seperti politik yang terlepas dari ekonomi,  ekonomi terlepas dari kebudayaan, d an sebagainya. Semua berkaitan erat dan tidak boleh dipisah-pisah. Terutam kaitan antar politik dan ekonomi sangat di tekankan oleh kalangan  Neo-Marxis. Akan tetaepi jika Marxisme Klasik cenderung menekankan determinasi ekonomi (artinya semuanya di tentukan oleh faktor ekonomi), maka Neo-Marxis hanya mencanangkan keunggulan atau (Primacy) dari basis ekonomi, artinya ekonomi merupakan faktor yang sangat penting dalam politik, tetapi politik tidak sepenuhnya di tentukan ekonomi.
Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam Negara. Mereka mengecam analisis struktural-fungsional dari para behavioralis karena terlampau mengutamakan harmoni dan keseiembangan sosial dalam suatu sistem politik. Menurut pandangan struktur-fungsional, konflik dalam masyarakat dapat di atasi melalui rasio, iktikad baik, dan kompromi, dan ini berbeda dengan titik tolak pemikiran Neo-Marxis.
Bagi kalangan Neo-Marxis, konflik anatar kelas merupakan proses dialektik paling penting dalam mendorong perkembanga masyarakat dan semua gejala politik harus dilihat dalam rangka konflik antar kelas ini. Hal ini tidak berarti bahwa kalangan Neo-Marxis ini mengabaikan konflik-konflik lain dalam mayarakat.seperti konflik etnis, agama, maupun rasial. Tetapi konflik-konflik ini, menurut keyakinan mereka,  langsung maupun tidak, berasal atau berhubungan erat dengan konflik antar kelas.
Berdasarkan analisis dialektik, mereka melihat sejarah seolah-olah terdorong oleh pertentangan antar dua kelas sosial, yang dulu oleh para Marxis klasik dijelaskan sebagai konflik antara mereka yang memiliki alat-alat produksi dengan mereka yang tidak memilikinya Karena merekea menyadari bahwa konsep lama mengenai adanya dua kelas pertentangandan dimasa modern tidak dapat di pertahankan lagi karena tidak sesuaidengan kentaan, kalangan Neo-Marxis memberi perumusan yang lebih fleksibel dan luas dengan mencanangkan adanya dua himpunan massa (aggregates) yang sedikit banyak kohesif serta memiliki banyak fasilitas (the advantaged) dan mereka yang tidak mempunyai fasilitas (the disadvantaged).
Himpunan pertama paling dominan, dan negara mepertahankan kepantingan himpunan yang dominan itu dengan segala kekuatan yang ada untuk mempertahakan dan memprkuat dominasinya. Kelas (dalam arti yang luas) dominasi berasal dari latar belakang sosial dan pendidikan yang sama dan mempunyai kepentingan politik dan ekonomi yang sama pula. Dominasi mereka hanya dapat di akhiri dengan transformasi total dari keadaan yang menimbulkannya yiatu tatanan sosial politik yang ada.Kaum Neo Marxis memperjuangkan suatu perkembangan yang revolusioner sserta multi linear untuk menghapuskan ketidak adilan dan membentuk tatanan masyarakat yang menurut mereka, memenuhi kepentingan seluruh masyarakat dan tidak hanya kepentingan kaum Borjuis.
Meskipun demikian, kelas yang berkuasa dapat saja mencegah usaha kelas-kelas lainnya untuk melawan dominasi melalui paksaan, konsensui, atau persuasi. Dengan demikian suatu konflik, seolah-olah tidak ada pertentangan  Akan tetapi apa yang tampak sebagai harmonisebenarnya harmoni yang semu dan menyesatkan. Di bidang politik praktis mereka menginginkan desentralisasi kekuasaan dan partisipasi dalam politik untuk semua komunitas. Demikianlah secara umum pandangan dari golongan Neo-Marxis dalam memahami maslah Sosial-Politik dan Ekonomi.

Herbert Marcuse

Di Eropa Barat dan Amerika telah timbul bermacam-macam Mahzab, yang paling terkenal adalah Frankfurter Schule (Mahzab Frankfurter) dengan tokohnya seperti Marx Horkheimer (1895-1973), Theodor Adorno (1903-1969), dan Herbert Marcuse (1898-1979). Herbert Marcuse melahirkan bukunya One Dimensional Man (1964), yang sangat terkenal waktu itu. Dari generasi Mahzab kedua ini, kita kenal Jurgen Habermas (1929-). Mahzab ini didirikan pada tahun 1923, tetapi dalam masa berkuasanya Hitler kegiatannya berpindah ke New York (1936). Seusai perang, sebagian mereka kembali ke Jerman. Mereka mengembangkan suatu teori yang kemudian di kenal sebagai Teori Kritis (Critical Theory) yang menekankan “kesadaran” (Consciousness), dimensi subyektif dan psikologis, terutama psiko-analisis.

1 komentar:

  1. Boleh tau referensinya dari buku atau web apa ya? sy perlu referensi ttg neo-marxisme, trims

    BalasHapus